Habis pantai, terbitlah kunang-kunang

Indonesia dan Filipina sama-sama negara kepulauan, sama-sama makan nasi, sama-sama dipandang sebagai negara yang tidak stabil politiknya. Soal kekayaan budaya, Indonesia jauh lebih unggul daripada Filipina. Di sana tidak ada situs bersejarah yang kuno banget, candi, tarian tradisional yang berbagai macam, atau baju tradisional yang ribet. Budayanya warisan dari Spanyol, atau malah Amerika banget. Kecuali di region Mindanao yang sudah bercampur dengan budaya Indonesia dan Malaysia sehingga ada batik dan tenunan. Kelebihan Filipina adalah mereka berbahasa Inggris jadi mudah berkomunikasi. Lalu, karena ukuran negaranya yang lebih kecil maka aksesnya jauh lebih mudah dan murah dibanding keliling Indonesia.

Sadar akan kekurangannya, Filipina giat mempromosikan eco-tourism atau wisata alam, terutama pantainya - bahkan mereka mengklaim diri sebagai “Asia’s Beach Capital”. Bedanya dengan Thailand, di Filipina belum begitu komersial jadi masih alami dan tidak banyak hotel yang super besar dan mewah. Memang pantai-pantai di Filipina oke banget, contoh yang paling terkenal adalah Boracay yang pasir putihnya halus bak bedak bayi. Tapi pasir putih dan air laut yang biru mah banyak di sana. Bahkan pantai di pusat kota saja tetap berwarna biru dan bersih seperti di Manila Bay atau Rizal Boulevard di Dumagete, meski tiap hari banyak orang nongkrong dan makan di warung-warung pinggir jalan. Harus saya akui, orang Filipina memiliki tingkat kesadaran akan kebersihan yang lebih tinggi. Bagi pecinta diving, Filipina juga surganya. Hanya 2 jam naik mobil dari Manila sampailah ke Anilao, dive site yang indah terumbu karang dan ikannya. Ke dive sites lain yang tak kalah indahnya juga hanya sejam naik pesawat, begitu mudahnya pergi untuk melihat spesies ikan tertentu seperti manta ray, thresher shark dan whaleshark.

Obyek wisata alam di Filipina menurut saya mengada-ada karena sebenarnya di negara kita juga banyak. Tapi dengan kesederhanaan itu, kenapa kita tidak bikin hal yang sama coba? Contohnya, hanging bridge alias jembatan gantung yang alasnya terbuat dari bambu di Bohol yang merupakan tempat wajib untuk dikunjungi turis. Saya aja ke sananya males, tapi buktinya turis (lokal dan asing) berebutan naik jembatan dan foto-foto. Contoh kedua, lunch cruising di Lobok River. Ya ampun, cuman makan siang ala buffet pake iringan penyanyi bergitar di atas saung apung yang ditarik kapal bermotor doang. Air sungainya sih memang jernih dan sekelilingnya hutan hijau, tapi puncak acaranya adalah melihat air terjun... setinggi 2 meter! Halah. Memang kita seharusnya berpikir seperti turis asing yang tinggal di negara non tropis, hal-hal seperti itu bagi mereka kan sungguh eksotis - bahkan bagi orang kota yang nggak pernah ke kampung.

Ada hal dimana Indonesia dan Filipina sama-sama punya, tapi dikemas sedemikian rupa sehingga di sana menjadi lebih terkenal dan heboh. Contohnya hewan tarsier atau tarsius, yang terkenal sebagai monyet terkecil di dunia. Di sana sangat mudah untuk melihat bahkan menyentuh langsung hewan imut tersebut – meski berada di cagar alam, tapi beberapa tarsier ditaruh di dalam kandang besar di pinggir jalan, beda dengan kita yang harus subuh-subuh trekking ke cagar alam Tangkoko di Bitung. Kemudahan ini menguntungkan turis yang tidak punya waktu banyak, bahkan Bohol menjadikan tarsier sebagai icon pariwisatanya. Nah, yang lebih ‘ajaib’ lagi adalah bagaimana Filipina mempromosikan sesuatu yang menurut saya biasa saja, yaitu “Durian City” di Davao. Kota itu memang penghasil durian terbesar di Filipina sehingga semua suvenir gambarnya durian, bahkan tugu di pusat kota gambarnya ya buah durian. Pas banget bagi turis asing yang tidak pernah lihat durian, meski di sana durian juga ada musimnya. Terus terang saya jadi sedih campur sirik.

Sebaliknya, ada obyek wisata alam di Filipina yang bikin saya sampai berdecak kagum. Pernah tau kunang-kunang? Di Donsol, nonton kunang-kunang (fireflies) di pohon yang berlokasi di pinggir sungai jadi salah satu obyek wisata. Saya pernah lihat bahkan menangkap kunang-kunang waktu saya kecil di rumah nenek di kampung, tapi tidak pernah sampai sebanyak itu. Gila, saking buanyaknya sampai kayak lampu pohon natal! Bahkan di sepanjang sungai kumpulan kunang-kunang terlihat seperti lampu disko yang kelap-kelip di kegelapan malam. Indah benerrr! Di Pinacuanan River, nonton kelelawar juga jadi obyek wisata. Baru kali itu saya lihat jutaaan kelelawar keluar dari sarangnya saat matahari terbenam sehingga membentuk gumpalan panjang berwarna hitam. Harusnya di Indonesia ada yang kayak beginian deh.

Jumlah turis asing ke Indonesia dan Filipina kurang lebih sama-sama 3 juta orang per tahun (FYI, Thailand 14 juta). Pertumbuhannya juga jauh beda, Filipina 20% sementara Indonesia sekitar 11% per tahun. Masa sih Indonesia yang jauh lebih besar dan kaya budaya jumlah turisnya tidak lebih banyak daripada Filipina? Menurut saya salah satu kuncinya - selain promosi yang benar dan terintegrasi dengan baik - adalah karena pemerintah Filipina terjun langsung mengurus obyek wisatanya yang benar-benar dianggap aset berharga. DOT (Department of Tourism) bekerja sama dengan barangay (desa) setempat, mereka memberikan pelatihan kepada penduduk setempat akan pentingnya pariwisata dan bagaimana pariwisata dapat memberikan tambahan penghasilan. DOT juga memberikan pelatihan cara menjadi guide, bekerja sama dalam mengoperasikan bisnis, membangun loket, konservasi alam, menstandarisasi harga sewa kapal, memberikan insentif, dll. Barangay jadi merasa bangga dan punya sense of belonging sehingga semangat dan melayani tamu dengan baik. Selain itu, tempat wisata baru terus ditemukan dan dikembangkan sehingga tidak terpusat hanya di Boracay (di kita fokusnya Bali melulu). Pada akhirnya, menguntungkan semua pihak: turis dimudahkan, tingkat ekonomi penduduk setempat naik, dan pemerintah dapat pemasukan.

*Foto di atas berlokasi di White Beach, Boracay, Filipina

About karangan ku

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.