Umumnya orang tau berwisata naik kapal adalah dengan menggunakan kapal pesiar (cruise ship) yang besar dan mewah yang memuat ribuan orang, seperti film The Love Boat atau Titanic, dengan tujuan ke Karibia atau Alaska. Selain kabin yang bagus, ada kolam renang, diskotik, beberapa restoran, bar, dan toko. Tapi kalau boat cruise hanyalah menggunakan kapal kecil terbuat dari kayu dengan panjang kapal sekitar 20an meter dan kapasitas penumpang 12-18 orang saja. Kelebihannya, karena ukurannya yang kecil kapal tersebut dapat mencapai daerah-daerah tepi pantai yang tersembunyi di antara teluk yang sempit dan bisa ‘ngepot’ di antara pulau-pulau kecil. Kalau pergi ke suatu tempat dan disarankan untuk boat cruise, maka saya cari yang versi backpacker-nya. Tidak usahlah yang VIP atau mewah-mewahan segala, toh tujuannya sama. Kenyamanan menjadi nomor ke sekian kalau jadi backpacker bukan?
Pertama kali saya ikut boat cruise pada awal tahun 2007 di Vietnam, mengelilingi Halong Bay selama 3 hari 2 malam. Kapalnya disebut dengan junk boat, dengan 3 layar seperti kipas berwarna emas kekuningan, serasa berada di film silat Cina jaman dulu. Saya sangat surprise, dengan biaya relatif murah USD 46/orang, sudah full board (makan 3 kali dan snack). Kabinnya luas dan mewah, ber-AC, dengan 2 tempat tidur terpisah, meja, handuk, dan kamar mandi dalam dengan air panas. Kedua, baru saja saya ikut boat cruise di Turki dari Olympos ke Fethiye menyusuri laut Mediterania yang terkenal indah itu selama 4 hari 3 malam. Kapalnya disebut gulet, kapal kayu tradisional yang dulunya dipakai oleh para nelayan dengan 2 layar lebar. Trip semacam ini disebut sebagai blue cruise, artinya naik gulet di birunya perairan Aegean dan Mediterranean Turki. Biayanya mahal, TRY 300/orang full board (sekitar Rp 2,3 juta), itu pun termasuk cruise murah untuk para backpackers. Tapi mengingat keindahan itu hanya bisa dinikmati naik kapal dan supaya menghemat waktu dan tenaga untuk pergi ke desa-desa dan situs arkeologi menarik di sepanjang pantai tanpa akses jalan raya, ya sutralah. Sayangnya kabin kapalnya sempit, tempat tidurnya kecil berupa bunk bed (sampai Nina hampir melorot jatuh ketika kapal dihantam ombak), tanpa AC, meski ada juga kamar mandi dalam. Jendelanya kecil, dan hanya ada di samping tempat tidur bagian atas. Saking kecilnya, naro 2 ransel saja sudah penuh sesak, makanya sebagian besar orang memilih untuk tidur di atas deck kapal.
Cruise di Halong Bay terasa romantis dan misterius karena airnya yang tenang dan pemandangan alamnya yang sendu di antara pulau-pulau batu kapur yang menjulang, lengkap dengan kabut yang memecah di pagi hari ketika saya membuka jendela kabin. Boro-boro saya berenang, siang-siang nongkrong di deck kapal saja pakai baju berlapis-lapis karena sedang musim dingin. Kami dibawa ke pulau yang terdapat gua-gua besar, seperti Sung Sot Cave, jalan-jalan di pulau nelayan terbesar di Cat Ba, dan kayaking di Lan Ha Bay. Sebaliknya, di Turki saat musim panas adalah saat terbaik untuk berenang di laut sampai saya gosong terpanggang matahari karena pagi-siang-sore-malam berenang (di sana pada saat musim panas, matahari terbenam jam 8 malam). Begitu kapal berhenti, saya tinggal terjun langsung dari kapal ke dalam birunya laut. Segerrr! Kami juga dibawa ke Sunken City (reruntuhan kota zaman Romawi yang sudah tenggelam di laut), desa Simena dan Kas, Pirate Cave, pulau St.Nicholas dan tentunya Butterfly Valley (teluk cantik yang terdapat 136 jenis kupu-kupu) dan Oludinez (disebut The Blue Lagoon) yang maha indah. Baju pun jadi hemat karena setiap hari hanya memakai bikini dan sarungan.
Dengan kapasitas yang terbatas, maka seluruh penumpang dapat saling mengenal satu sama lain. Meski selalu ada resikonya: kalau tidak sewa kapal sendiri bisa jadi sekapal bersama penumpang ABG yang sangat ribut dan kerjanya mabuk-mabukan, atau justru kalau kita yang pengennya rame dan seru malah sekapal dengan penumpang lain yang tua-tua dan pendiam. Di Halong Bay, saya dan Yasmin bersama 8 orang lain, 6 orang yang merupakan 3 pasang cewek-cowok muda dan 2 orang kakek-kakek. Geng kapal jadi terbagi dua: the couples dan the jomblos (tentunya kami segeng dengan 2 kakek). Dasar Asia yang terkenal dengan tidak efektif, meski jumlahnya hanya 10 tamu, tapi kami dilayani oleh 6 orang kru, satu kapten, plus seorang guide bernama Cuong yang menemani kami ke tempat-tempat wisata. Di Turki, selain saya dan Nina, ada 5 orang cewek ABG asal Australia berusia belasan tahun dan 8 orang lain asal Korea, USA, UK dan NZ yang berusia 28-35 tahun - jadi cocok banget bersekutu nyuekin ABG berisik itu! Kru kapal hanya 3 orang saja termasuk sang kapten, Yusuf. Paduan orang-orang di kapal kami lumayan cocok – yang tua mengalah dan hanya geleng-geleng kepala mendengar topik pembicaraan para ABG yang dangkal. Saya jadi bersyukur ketika malam pertama di Gokkaya Bay ada kapal yang parkir di sebelah yang ributnya minta ampun. Isinya anak-anak ABG Australia dengan musik keras jedang-jedung dan tawa yang memekakkan telinga. Sampai salah satu dari mereka bilang ke saya, “Gila, gua terjebak dengan anak-anak kecil yang ruibut banget! Gua umur 24 dan paling tua di sini karena mereka semua baru lulus SMA!”. Duh, saya jadi merasa tua banget. Faktanya, saya memang yang paling tua di kapal kami, bahkan lebih tua dari kapten kapal. Apalagi ketika mendengar salah satu ABG yang bilang, “Even Madonna is older than my mum”. Sial.
Cara saya mendapat fasilitas tambahan, bergaullah dengan awak kapal. Di Halong, saya berteman dengan guide yang bisa membawa saya keliling Cat Ba, bahkan menemani saya nongkrong ketika kembali ke Hanoi. Saya juga berteman dengan tukang masak, jadi kalau masih laper saya bebas masuk dapur atau ikutan makan jatah awak kapal. Hehehe! Di Turki, saya berteman dengan ABK yang jago mijit. Juga berteman dengan kapten yang punya sepupu tukang mancing pake spear gun. Saya jadi diajak ke laut untuk mancing dan diajari spearfishing gratis. Rupanya sepupunya itu punya sebuah bar di Gokkaya Bay, jadi saya bisa dapat (banyak) alkohol gratis. Yah, biarlah dikatakan cheap shit, yang penting gratiss.
Kapal mendapat penghasilan tambahan dari minuman. Kedua boat cruise itu tidak menyediakan minuman, kecuali kopi atau teh di pagi hari. Peraturannya jelas tertulis bahwa penumpang dilarang membawa makanan dan minuman dari luar. Kebayang kan harganya jadi berapa mengingat tidak ada cara lain membeli minum selain beli di kapal. Tak habis akal, saya selalu beli minuman dari luar dan diam-diam dimasukkan ke dalam ransel. Untungnya di Vietnam harga masih terjangkau dan peraturannya tidak begitu ketat, saya bisa membawa botol minuman kecil di meja makan (hasil mengisi ulang dari botol besar di kabin), dan sesekali masih mampu membeli kopi dan bir. Nah di Turki ini peraturannya ketat, bahkan Nina ketahuan membawa air sendiri karena bunyi ranselnya yang ‘gluduk-gluduk’. Kami terpaksa mengeluarkan 2 botol air mineral besar, dan supaya tidak tertuduh, Nina mengisinya dengan obat klorofil dan saya mencemplungkan CDR. Dengan 2 botol berwarna hijau dan kuning ini kami mengklaim bahwa ini adalah obat-obatan yang harus kami bawa. Sebagai upaya penghematan, kami selalu menolak memesan minum setiap habis makan. Cara minumnya: saya pergi sendiri ke kabin, mengambil air dari dalam ransel, meminumnya, lalu Nina jongkok dari luar jendela dan saya memberinya minum dari dalam, begitu seterusnya. Padahal para ABG, setiap makan membeli sebotol besar air, dan si cewek Kiwi 2 jam sekali minum bir dingin. Duh, ampe ngiler. Sampai hari ke-3, Nina pun tumbang. Kepalanya pusing bukan kepalang seperti terkena heat stroke. Wah, kena dehidrasi dia! Barulah kami memutuskan untuk membeli minuman. Dasar backpacker gembel...
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
0 comments:
Post a Comment