Nebeng membawa sial?

Perjalanan kali ini memang kere, saya belum dapat pekerjaan malah ngacir ke Turki. Kalau kata website bahwa Turki termasuk negara yang murah, ternyata salah besar untuk ukuran orang Indonesia. Pipis di toilet umum aja bayar 1 YTL (= Rp 7.700an). Paling enak memang kalau ada tebengan nginep karena pengeluaran hari-hari terbesar adalah biaya menginap. Apalagi kalau bisa nginep di rumah orang Turki asli, jadi bisa sekalian mempelajari budayanya. Tapi siapa?

Di dalam kereta dari Istanbul ketika hampir mencapai Ankara, seorang cowok senyum-senyum mendekati kami dan mengajak kenalan. Namanya Tezar, 34 tahun, seorang Turki yang besar di Amerika Serikat, berprofesi sebagai guru bahasa Inggris di Istanbul. Ia baru keluar dari army (di Turki semua pria terkena ‘wamil’ atau wajib militer selama 6 – 15 bulan). Ia pun mentraktir kami kopi di stasiun - dua jam kami mendengarkan curhatan kisah hidupnya yang ajaib. Ketika kami mengatakan bahwa tujuan kami selanjutnya adalah ke Cappadocia, ia mengatakan bahwa dia punya sahabat dari wamil yang tinggal di sana. Dia pun langsung menelepon sahabatnya, Hasan, bahkan diajak menginap sekalian. Assiiik! Tezar yang tidak membawa apa-apa akhirnya ‘kena racun’ dan memutuskan untuk ikut kami ke Cappadocia, tapi dengan syarat kami harus mengantarnya mengurus legalisir diplomanya di semacam kantor ‘depdikbud’ dekat Bilkent University. Jadilah kami kayak orang bego berkeliling kota Ankara yang gersang naik dolmus (angkotnya Turki). Sering pula pake acara nyasar karena Tezar tidak tahu jalan, plus bahasa Turkinya yang parah.

Kami dijemput di stasion kereta di kota Kayseri jam 3 pagi oleh Hasan dan iparnya, Mehmet. Berlima kami naik mobil sedan Fiat sewaan menuju desa kecil bernama Ãœrgüp. Sinar matahari yang baru muncul membawa kami ke tempat yang luar biasa aneh, serasa berada di bulan, dengan formasi bebatuan berbentuk fairy chimneys berwarna pink, sejauh mata memandang. Sepanjang perjalanan kami membicarakan pertanyaan standar: Umur berapa? Kerja di mana? Sudah menikah apa belum? Dan sampailah ke pertanyaan ‘bagaimana kenal dengan Tezar?’. Karena Tezar merasa tidak enak hati membawa kami – the dynamic hippos – yang baru kenalan di kereta, maka kami pun mengarang cerita: Tezar adalah teman Nina waktu sama-sama tinggal di New York. Apa coba?

Satu jam kemudian, Hasan membawa kami masuk ke rumahnya yang bertingkat dua yang berada di gang di belakang toko karpet. Di ruang tamunya sudah disiapkan dua sofa bed untuk saya dan Nina. Kata Tezar, kami disuruh tidur dulu, lalu bangun untuk langsung sarapan. Eh orang sana ternyata bangunnya siang, jam 11 barulah ada kehidupan. Saya dikenalkan oleh seluruh penghuni rumah: Elif (istri Hasan), Suzan (istri Mehmet), Melise (anak perempuan Mehmet, 15 tahun) dan anne-anne (artinya ‘nenek’ dalam bahasa Turki, nama aslinya Emine, 89 tahun), sedangkan suami Emine sedang terbaring sakit di kamar. Catat, semua penghuni rumah tidak bisa berbahasa Inggris tapi bahasa kedua mereka adalah bahasa Jerman karena mereka bekas imigran di sana. Lalu kami semua makan bersama berupa Turkish kahvalti (sarapan) seperti roti ekmek, seblok keju putih, telur rebus, buah zaitun warna hijau dan hitam, potongan tomat dan ketimun, serta selai strawberry dan sambal buatan Elif, ditemani çay (teh). Nikmaat...

Setelah itu kami duduk-duduk di ruang keluarga dimana anne-anne merajut sambil makan kuwaci dan kacang pisctachio. Lalu Hasan bercerita yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Tezar, bahwa ia sedang dalam keadaan tidak baik ekonominya. Hasan baru keluar dari wamil dan belum dapat pekerjaan, ayahnya sedang terbaring sakit stroke di rumah sehingga membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk berobat. Wah, jadi ngga enak banget nih! Tapi kami juga tidak diperbolehkan menginap di hotel dan makan di luar. Saya dan Nina pun memutuskan untuk membayar sewaan mobil Fiat dan menambahnya satu hari lagi agar kami tidak terlalu merepotkan mereka. Dua hari penuh kami berjalan-jalan di sekitar Cappadocia, bergantian ditemani oleh Hasan, Elif, Mehmet dan Melise. Kami pergi ke Göreme, Underground City di Derinkuyu, Uçhisar Castle, bahkan sampai menemani trekking di Ihlara Valley. Lucunya, setiap kami masuk toko bisa menghabiskan waktu minimal setengah jam karena diajak minum çay atau kahve (kopi) oleh pemilik toko yang semuanya teman Hasan. Alhasil kami selalu mendapat diskon. Cihuy!

Malam terakhir keluarga itu mengadakan pesta perpisahan untuk kami di roof top rumahnya. Menunya barbeque ayam dan ikan trout yang nikmaat, bersama pilav (nasi) dan salad, serta buah aprikot. Kami menyumbang pesta dengan membeli sebotol raki (minuman alkohol khas Turki, rasanya seperti ouzo-nya Yunani) dan baklava (dessert khas Turki yang muanis banget sampe bikin gigi ngilu). Orang Turki ternyata sama saja seperti kita, biar dikata udah tua tetep takut sama ibunya. Saya dibisiki Hasan agar jangan minum di depan ibunya. Ternyata semuanya pun menyembunyikan gelas berisi raki di belakang badan dan begitu anne-anne meleng, kami sesegara mungkin meminumnya. Suzan aja sampe ngumpet merokok di balik pohon agar tidak terlihat anne-anne. Nina pun ‘dimarahin’ anne-anne karena meski dia sudah hajjah tapi tidak memakai jilbab. Rupanya anne-anne senang bergadang, sampai Tezar menyebutnya “the woman who doesn’t dissapear” saking kami menjadi tidak bebas semalaman. Hahaha! Besoknya kami diantar ke stasion bis, saya dan Nina menuju Antalya dan Tezar kembali ke Istanbul. Hasan meminta maaf berkali-kali bahwa ia seharusnya membayari kami semua dan mengundang untuk datang kembali tahun depan saat keadaan ekonominya membaik. Elif berurai air mata melepas kami. Seperti kebiasaan orang Turki kepada orang tua, saya mencium tangan dan kedua pipi anne-anne. Ia memberikan petuahnya dalam bahasa Jerman (dia menganggap semua orang yang bukan Turki adalah orang Jerman), lalu melambaikan tangannya dan berkata,”Tschüss!”

Seminggu kemudian – dengan duit yang makin menipis - kami kembali ke Istanbul dan dijemput Tezar di stasion Suadiye. Kami diajak menginap di apartemen pacar kumpul kebonya yang berada di area 5th Avenue-nya Turki. Pacarnya bernama Esra, 23 tahun, perempuan cantik seperti boneka, anak orang kaya yang bekerja sebagai tukang tato, tapi tidak bisa berbahasa Inggris (padahal Esra adalah murid kelas bahasa Inggris yang diajar Tezar!). Sampai di sana, ternyata ada Adnan, 11 tahun, adiknya Tezar lagi ikutan menginap di apartemen Esra. Wah, nggak enak banget nih secara apartemennya kecil gitu. Tezar gila juga, udah nebeng sama pacarnya, bawa adik, eh tambah lagi bawa 2 turis gembel. Alhasil malam itu kami diam-diam menginap di hotelnya si Jade di Taksim.

Malam berikutnya kami terpaksa harus menginap di apartemen Esra, karena kamar Jade penuh. Supaya enak (dan murah), kami bermaksud memasakkan makan malam untuk Tezar dan Esra, tapi Tezar bercerita bahwa mereka berdua lagi berantem hebat sehingga tidak berbicara satu sama lain sejak kemarin. Ups! Untungnya Tezar sudah makan, jadi kami sengaja pergi ke luar dan mentraktir Tezar kopi supaya begitu kembali ke apartemennya kami tidak usah merasakan hawa peperangan. Malam itu saya dan Nina dipaksa tidur di kamar tidur utama satu-satunya, Esra di ruang belajar, dan Tezar di ruang tamu. Duh, nggak enak banget. Jam 11 siang kami sudah siap-siap mau kabur lalu membangunkan mereka untuk pamit. Esra memeluk kami sambil berurai air mata, sepertinya dia ingin mengatakan bahwa ia menyesal dan pengen curhat. To make it worse, begitu kami menginjakkan pintu mau keluar, rupanya Tezar juga keluar sambil bawa pakaian-pakaiannya. “I’m moving out too. I broke up with Esra.” Lah, kok jadi begini?

Well, dengan menginap di rumah penduduk lokal (yang baru kenal), saya semakin tahu banyak tentang budaya orang Turki yang ternyata lebih Asia banget daripada Eropa. Saya hanya bisa berharap semoga Tuhan membalas jasa Tezar dan keluarga Hasan. Dan semoga bukan karena kami yang membawa kesialan...

About karangan ku

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.