Rupanya si thresher sharks di Malapascua ini hanya bisa dilihat persis pada saat matahari terbit, jadi para penyelam harus sudah masuk air pada jam 5.30 pagi. Mau nggak mau, saya bersama kedua sahabat jalan saya, Yasmin dan Jana, bangun jam 4 pagi. Berhubung restoran di resor belum buka plus rasa parno takut kelaparan pas diving, kami menyeduh mie instan dan kornet. Setelah perjalanan kapal selama 45 menit, kami pun turun ke kedalaman laut yang masih agak gelap, terus turun sampai ke dasar yang hanya hamparan pasir dan karang yang tandus. Nah, lama-lama ikan-ikan pada bangun pagi satu per satu entah datang dari mana...cling...cling...tau-tau nongol aja ikan kecil-kecil. Aneh juga. Tak lama kemudian, datanglah makhluk berwarna perak, sang hiu thesher...woalah, gede benerrrr...dengan ekor yang panjang bagaikan pedang berkilat kena sinar matahari. Ia pun berputar-putar di depan kami dan pergi. Tidak percuma kami bela-belain ‘sahur’ jam 4 pagi. Di kapal kami berbicara dengan sesama penyelam lain, rupanya mereka sudah beberapa hari diving tapi tidak ketemu hiu thresher. Kasihan. Kata Yasmin berkomentar jahil, “Monggo sahur lagi, boss...”
Soal whalesharks, saya mengetahuinya secara tidak sengaja dari brosur yang saya dapat di pameran diving, judul brosur tersebut ‘Swimming with the Whalesharks’. Disebutkan pula bahwa bila datang pada saat musim Butanding (bahasa lokal untuk whaleshark) di daerah Donsol pada bulan April-Mei setiap tahunnya maka dijamin pasti bisa ketemu. Whalesharks atau hiu paus atau butanding ini merupakan jenis ikan terbesar di dunia padahal mereka bukan termasuk mamalia. Mungkin mereka dinamai ikan paus karena memang ikan ini gede banget bagaikan paus (whale) padahal ia termasuk spesies hiu (shark). Untuk melihat si butanding harus mendaftarkan diri di kantor Department of Tourism (DOT) dan menyewa kapal seharga P3,500 yang bisa diisi maksimal 7 orang peserta. Karena saya hanya berdua dengan teman saya, Udhi, saya minta dipasangkan dengan 5 orang lain supaya bisa patungan. Tak menunggu lama terisi 7, kami langsung berangkat ke laut. Kru kapal ternyata ada 7 orang sendiri: 1 orang kapten, 2 orang awak kapal, 2 orang guide, dan 2 orang spotter yang berdiri di atas tiang kapal. Cara kerjanya, para spotter melihat dari ketinggian keberadaan bayangan hitam gede di laut dan memberi tahu pak kapten untuk mendekatkan kapal. Lalu guide yang memberi aba-aba ke para peserta untuk bersiap-siap duduk di pinggir kapal dan loncat ke dalam laut, juga ikut berenang bersama para peserta mengejar butanding atau menggeret peserta yang berenangnya lelet.
Setelah sejam melaut, tiba-tiba guide berteriak, “Get ready! When I say jump, you all jump ok?”. Saya pun segera memasang fin dan snorkel, duduk di pinggir kapal. Begitu aba-aba ‘jump’, saya bersama peserta lain lompat dari kapal yang sedang berjalan sambil harus menghindar dari baling-baling mesin kapal. Lalu kami berenang mengikuti guide sambil di-hayo-hayo-in, “Fast! Fast!”. Mana visibility air lautnya buruk lagi, artinya jarak pandang mungkin hanya 2 meter saja di dalam air, sisanya ya warna biru aja. Tiba-tiba guide berteriak, “Stooop!” yang membuat saya tiba-tiba jadi patung nggak ngerti kenapa disuruh stop. Lalu dia berkata dengan nada rendah, “Now, look down...” Saya pun melihat ke bawah...dan...hah kok lautnya tiba-tiba hitam, tapi kok bergerak dan nggak habis-habis warna hitamnya...Haaah? Itu hiu paus! Ada di bawah saya, berenang sangat dekat serasa di perut saya! Jantung saya pun berhenti berdetak dan meloncat ke luar, menarik napas sambil berteriak histeris. Kata si guide, itu hiu paus ukuran medium doang dengan panjang 8 meter. Gila, medium kok gede banget, lebih panjang daripada ruang tamu rumah saya! Begitulah sampai akhirnya saya pun berhasil berenang bersama 7 ekor butanding dengan ngos-ngosan (padahal butanding termasuk lelet dalam berenang, kecepatannya ‘hanya’ 5 km/jam). Kata si guide lagi, butanding ini vegetarian, makannya cuma plankton meski mulutnya kalo mangap setinggi 1,5 meter dan giginya ada ribuan. Saya sadar saya nggak bakal dimakan, tapi melihat makhluk super besar di dalam laut ya bikin deg-degan juga bukan? Lah kalo dia menggoyang pantatnya sedikit aja, mungkin saya bisa kelempar sampai ke darat kali! Atau kalau saya tiba-tiba tersedot mulutnya, gimana coba?
Hari berikutnya, saya tidak melewati kesempatan untuk diving di Manta Bowl, sebuah dive spot yang katanya banyak terdapat manta rays (ikan pari raksasa) sekitar 1,5 jam naik boat. Dasar lagi musim butanding, seharian diving bukannya ketemu manta malah butanding lagi karena katanya manta juga ogah ketemu butanding. Ternyata ketemu butanding pas menyelam jauh lebih serem karena nggak bisa berenang cepat untuk kabur naik ke permukaan. Lagi enak-enaknya nunggu di dasar laut kedalaman 18 meter, tiba-tiba area sekitar kami gelap bagaikan ada awan hitam yang menghalangi sinar matahari. Begitu Dive Master menunjuk ke atas, lagi-lagi jantung saya mau copot... ada butanding lewat di atas kepala, hitam, gede, panjang 12 meter, bagaikan kapal selam! Hiii! Diving terakhir pun saya sampai panik berat. Lagi safety stop di tengah kedalaman laut yang cuma warna biru, tiba-tiba butanding datang dari belakang, lewat ke depan dan berbalik arah ke arah saya. Haaaa!!! Buddy saya kena panick attack dan langsung bergelanjut di badan saya sampai saya tenggelam lagi. Haduh nggak bisa kabur ke mana-mana, selain meremin mata karena mulutnya die mangap gede benerrr. Rupanya dia lewat aja di samping kami sambil melengos dengan matanya yang kedap-kedip. Sialan!
Well, gara-gara hiu, saya jadi berniat untuk melihat langsung great white shark (hiu putih raksasa) sambil diving di dalam kerangkeng besi. Katanya sih di Afrika Selatan ada dive spot khusus yang dijamin bisa lihat hiu paus, jenis hiu yang paling ganas yang bukan vegetarian. Ah, membayangkannya saja adrenalin saya rasanya sudah mendidih. Ada yang mau ikut?
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
0 comments:
Post a Comment