Begitu saya memutuskan untuk traveling ke suatu tempat, saya pasti akan mencari informasi tentang tempat tujuan saya, terutama tentang ‘tourist traps’ atau ‘warnings or dangers’. Ketika saya memutuskan untuk traveling ke Hanoi, ibu kota Vietnam, saya jadi ngeri karena sepertinya keadaannya mengerikan sekali. Banyak turis yang tertipu, yang kecopetan, yang tertabrak, dan lain-lain.
Pertama dikatakan bahwa hati-hati harga yang dimahalin bagi turis, terutama oleh tukang jual buah dan anak kecil penjual postcard. Menurut saya itu sih gara-gara turis barat saja yang menganggap tukang jual buah pikulan itu unik dan eksotis sehingga mereka senang foto-foto dengan para tukang buah. Tentu lah tukang buah memanfaatkan kesempatan ini dengan meminjamkan pikulan dan topi capingnya kepada para turis barat untuk difoto, lalu trik basinya adalah si tukang buah memaksa turis bule untuk membeli buahnya dengan harga sangat mahal. Sama seperti kasus anak kecil penjual postcard, ya biasalah banyak anak kecil yang menyodorkan postcard berharap agar turis mau membeli. Nah, turis barat menganggap anak kecil Vietnam itu lucu dan mereka kasihan sehingga dibeli lah postcardnya. Tapi ketika mereka pergi ke toko, baru sadar bahwa harga postcard yang dijual anak kecil luar biasa mahal, bisa sampai US$ 1 selembar. Saya jadi berpikir ‘beruntunglah’ jadi orang Indonesia karena tukang jual buah pikulan adalah hal yang biasa sehingga tidak perlu foto-foto, apalagi melihat banyak anak kecil yang berkeliaran di jalan.
Kedua, hati-hati ambil cruising ke Halong Bay karena sering ditipu paketnya. Banyak turis mengaku mereka ditawarkan paket murah tapi dengan tambahan sedikit uang, mereka dijanjikan akan mendapat layanan tambahan seperti jenis makanannya adalah seafood dan jaminan jumlah orang yang sedikit di dalam junk boat. Akhirnya mereka marah-marah karena seafood yang disediakan di kapal adalah ikan goreng biasa – itupun berebutan, bukan udang, cumi atau lobster seperti yang mereka bayangkan. Dengan mengambil paket murah dan membayar ekstra, ternyata kapal mereka tetap penuh dijejali dengan banyak orang. Prinsip saya, when you pay peanuts, you get monkey – artinya, ada harga ada mutu. Kalau mau murah, ya terimalah keadaannya. Jangan tertipu dengan janji-janji surga karena when it’s too good to be true, then it’s not true. Saya membayar US$ 46 untuk paket 3D/2N cruising di Halong Bay, termasuk tour guide, transportasi, makan, penginapan di junk boat dan di hotel di Cat Ba Island – harga yang cukup sesuai mengingat kapal kami hanya berisi 10 orang tamu dengan kamar kabin yang mewah.
Ketiga, hati-hati ditipu supir transportasi umum seperti taksi, becak dan ojek. Nah kalau ini saya mengalaminya. Setelah seharian berjalan kaki ke museum-museum, saya dan Yasmin memutuskan untuk menyewa ojek. Setelah tawar-menawar, kami deal dengan harga US$ 3/orang dan akan diantar ke 5 tempat: Quan Thanh Temple, Tran Quoc Pagoda, Tay Ho Pagoda, St Joseph Cathedral dan Water Puppet Theatre. Baru sampai tempat kedua, tukang ojeknya mulai bertingkah dengan bilang bahwa Tay Ho Pagoda sudah tutup jadi mending dilewatkan aja. Mulai nih trik basi! Kami ngotot lah, karena tidak ada informasi seperti itu. Sampai di Cathedral, dengan kasarnya mereka minta dibayar saat itu juga, padahal mereka masih harus mengantar ke satu tempat lagi. Kami cuek saja dan masuk ke dalam gereja. Dari situ kami mau diturunkan di tengah jalan karena katanya Water Puppet hanya tinggal 2 menit jalan kaki. Yey, buat apa bayar ojek kalau masih disuruh jalan kaki pula. Saya pun ngotot lagi, tidak mau turun dari boncengannya kalau tidak diantar ke tujuan akhir sesuai perjanjian. Begitu turun, tukang ojek saya marah-marah dan tidak mau menerima uang kami. Halah, trik basi lagi! Saya balik marah karena dia menyalahi perjanjian, lalu saya pun menyelipkan uang ke dalam saku jaket tukang ojeknya Yasmin dan berlari ke dalam gedung. Tak mungkin ada yang mau menolak uang bukan? Selesai masalah.
Terakhir, hati-hati menyebrang jalan. Saya pikir sebagai seorang yang tinggal di Jakarta bukanlah masalah karena kita terbiasa dengan lalu lintas yang padat dan menyebrang di jalan raya yang padat pula. Tapi ternyata informasi ini baru benar – lalu lintas di Hanoi jauh lebih parah! Masalahnya, Hanoi penduduknya 8 juta orang, tapi ada 5 juta motor! Motor-motor di sana memang buanyaak banget! Parahnya lagi, mereka doyan ngebut tapi tidak suka ngerem, belum lagi doyan membunyikan klakson sehingga berisiiik. Mana jalanan di Old Quarter yang sempit itu di pinggirnya dijadikan tempat jualan dan parkir motor pula. Kalau sedang berjalan kaki jadi kagok sendiri karena diklaksonin motor meski masih jauh jaraknya. Kalau mau menyebrang jalan harus melihat 360º karena motor-motor itu bisa menyambar dari arah kanan-kiri-depan-belakang! Kalau ada lampu lalu lintas, motor-motor itu bagaikan laron yang menyerbu begitu lampu merah menyala. Jalan kaki di pasar malam saja membahayakan karena tetap ada motor yang ngebut di antara para pejalan kaki sehingga menyambar tali tenda dan bruuk... robohlah tenda jualan. Hiiiih!
Namun biar bagaimanapun, Hanoi itu menyenangkan. Saya tidak terasa seperti berada di Asia karena bangunannya sangat Eropa akibat bekas jajahan Perancis, makanannya enak-enak, kopinya luar biasa nikmat, orang dan budayanya lucu-lucu. Halong Bay sendiri sangat indah – apalagi ketika berlayar dengan kapal tradisional di antara ribuan pulau yang bertebing...
0 comments:
Post a Comment