Setelah berjam-jam kehujanan dan kelelahan naik jeepney yang penuh sesak di jalanan off road, akhirnya malam hari kami sampai di Sabang - sebuah desa kecil di Pulau Palawan, Filipina. Penginapan kami berupa rumah panggung dari kayu berdinding gedek beratap rumbia, tidak ada listrik pula. Saya, Nina, dan Jade tidak bisa tidur karena merasa kebosanan, berindit-indit mengikuti suara orang ramai di pinggir pantai. Ternyata mereka adalah sekelompok cowok-cowok Filipin yang sedang kumpul-kumpul sambil minum-minum dan bermain gitar. Jadilah kami berkenalan: ada abang-adik Arthur John dan Arthur James (nggak kreatif amat ortunya kasih nama), Patrick, Kymne, Rubello, dan lain-lain – usia mereka 10 tahun di bawah kami (segerr!). Bergabunglah kami dengan pesta mereka sampai pagi. It was fun! Kami pun bertukar nomer telepon, dan mereka menawarkan untuk bertemu lagi saat kami ke kota asal mereka. Beberapa hari kemudian di Puerto Princessa sebagai balas jasa, kami mentraktir teman-teman baru di restoran ‘Kalui’ yang menurut buku Lonely Planet merupakan restoran terbagus dan termahal di kota itu – mereka masuk dengan malu-malu karena seumur hidup belum pernah ke restoran ini. Dari situ lanjut nongkrong di ‘Kinabuch Cafe’, sekali lagi dengan sombongnya semuanya kami traktir alkohol.
Sebagai balas jasa lagi, mereka mengajak kami menghabiskan malam dengan ‘berpesta adat’ a la geng ABG mereka – yang mereka pun tidak mau menyebutkan apa dan bagaimana. Kami yang lagi tipsy pun pasrah saja ‘diangkut’ naik mobil pick up, kami (sudah setua begini) duduk di bak belakang, jalan-jalan keliling kota sambil ketawa-ketawa, sampai akhirnya jalan berliku naik ke atas perbukitan dengan sekelilingnya perkebunan dan sawah menuju rumah Arthur John dan Arthur James. Rumah tembok bercat putih ini tidak begitu besar, dengan berjinjit takut orang tuanya bangun, kami masuk rumah dan bablas ke pintu belakang. Halaman belakang rumah ini sangat besar dan dikelilingi pepohonan, di tengahnya terlihat ada kolam besar pula, rupanya tambak udang. Kami berjalan melewati jalan setapak berupa pematang, James menyenter sisi kanan pematang... wah, kebun ganja! Kami tertawa senang campur parno. Dengan melalui sebatang pohon, kami dibawa ke tengah tambak dimana ada semacam cottage mengapung di atas tambak Di dalamnya terdapat satu meja besar dengan bangku yang menempel mengelilingi mejanya. Mereka lalu menarik kabel listrik dari rumah utama supaya bisa menyalakan tape dan lampu.
Mereka pun mempersiapkan ’pesta adat’-nya dengan menyediakan sebuah gelas kosong, seember es batu, sebotol Brandy, sebotol iced lemon tea, dan ganja alias cimeng yang sudah dikeringkan hasil budi daya si James. Tidak lupa camilan berupa kripik kentang. Cara ‘pesta adat’-nya adalah: satu per satu secara berkeliling harus menghisap cimeng yang dibakar di dalam pipa, lalu minum Brandy, ditutup dengan minum iced lemon tea. Setelah 3 ritual itu dilakukan, masing-masing harus mengisikan kembali untuk diberikan kepada orang di sebelahnya. Sembari cimeng dan gelas berkeliling, kami pun mengobrol ngalor-ngidul sambil ketawa-ketawa bego. Orang Filipin itu ternyata noraknya sama persis dengan orang Indonesia, bahkan joke-nya pun model ‘plesetan’. Lama-lama kami sudah susah merangkaikan dan mengucapkan kata-kata karena bercampur aduk antara bahasa Inggris, bahasa Indonesia, dan bahasa Tagalog. Meski di otak mau ngomong bahasa Inggris, yang keluar bahasa Indonesia, jadi harus diterjemahkan lagi ke bahasa Inggris, lalu bahasa Tagalog karena Rubello tidak mengerti bahasa Inggris. Halah, ribet! Lebih susah lagi kalo mau pipis karena harus ke rumah utama, dalam keadaan ‘melayang’ kami harus berjalan melalui pematang yang gelap yang kanan kirinya kolam tambak. Wah! Ketika kami sudah tergolek giting dengan pipi menempel di meja, mereka tetap keukeuh memasukkan pipa ganja dan menuangkan minuman di mulut. Terus menerus begitu. Duh, dunia serasa berputar, tulang terlepas dari sendinya, mata susah melek serasa kelopaknya diganduli batu bata...
Entah jam berapa kami menyudahi pesta lalu berjalan bersusah payah melewati pematang tambak udang sambil bergandengan tangan dan akhirnya mencapai jalan raya. John sudah terkapar tidak sanggup menyupir mobil lagi, Patrick yang masih sadar mengantar kami ke hotel naik tricycle (becak bermotor). Dengan jalan yang berliku menuruni perbukitan dan becak yang terasa berjalan mengambang 5 cm di atas jalan raya - bagaikan naik roller coaster! Dengan merangkak-rangkak kami pun masuk kamar hotel dengan susah payah. Terakhir yang saya ingat, di tengah tidur saya mendengar suara benturan benda keras tapi saya tidak sanggup untuk bangun. Keesokan siangnya kami melihat kening Jade tumbuh benjolan merah akibat kepalanya menabrak tembok kamar ketika ia ingin ke toilet!
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
0 comments:
Post a Comment