Karena orang tua saya berasal dari 2 agama yang berbeda, dari kecil saya ikut merayakan Lebaran dan juga Natal bersama keluarga. Ketika saya sudah doyan traveling sendiri, perayaan agamais itu kadang terlewatkan begitu saja. Apalagi liburan lebaran atau natal biasanya lebih panjang sehingga kalau ditambah hari cuti bisa sangat menguntungkan. Lebaran pertama saya tanpa keluarga terjadi ketika saya lagi training di Atlanta, AS, tahun 1997. Berada di tempat yang tidak berasa suasana lebaran membuat saya sedih, apalagi hari itu saya harus masuk kerja di tengah musim dingin dengan suhu -10°C pula. Semalam sebelumnya saja saya tidak mendengar beduk takbiran, lalu saya membayangkan keluarga besar saya berkumpul di rumah nenek yang bercuaca tropis sambil makan makanan lebaran andalan tante-tante saya. Haduuh...! Untunglah saya sempat berkenalan dengan seorang yang sedang kuliah di sana sehingga dia berbaik hati untuk mengajak saya untuk berkumpul bersama di salah satu apartemen temannya. Berkumpul bersama orang-orang Indonesia juga yang merayakan lebaran sambil makan ketupat dan rendang rasanya luar biasa, paling tidak mengobati rasa rindu saya.
Lebaran kedua tanpa keluarga tahun 2003 di New Zealand, lebih aneh lagi kejadiannya. Hari itu saya di Paihia dan sedang on the way ke Cape Reinga, tempat paling ujung utara negara ini, untuk menginap di sana semalam. Gara-gara ada SMS masuk mengucapkan selamat lebaran, saya jadi tersentak bahwa hari itu seharusnya saya sudah ada di Auckland karena harus terbang ke Christchurch, padahal dari Paihia ke Auckland saja harus 5 jam naik mobil. Buru-buru kami memutar mobil dan ngebut balik ke Auckland. Wih, boro-boro bersedih ria karena tidak berlebaran, sepanjang jalan kami mengutuki kebodohan kami yang tidak ingat hari dan tanggal sambil berdoa tidak ketinggalan pesawat.
Mungkin karena nenek saya sudah meninggal dunia, lebaran keluarga besar ibu saya rasanya jadi hambar dan tidak bermakna lagi. Sudah dua lebaran terakhir, saudara-saudara ibu saya merayakannya di luar negeri. Tiga tahun lalu di Singapura sekalian mengantar sepupu saya yang sekolah di sana. Tahun lalu, seperti yang saya sudah pernah posting, berlebaran di sebuah kolam renang hotel di Kuala Lumpur. Dua tahun lalu sebenarnya merupakan lebaran ketiga tanpa keluarga, ketika saya ada di Wina, Austria. Meskipun saya mempunyai teman yang bekerja di Kedutaan Indonesia di Wina dan mengajak saya berlebaran bersama, tapi hari itu saya memilih untuk pergi ke Salzburg. Entah mengapa rasanya saya jadi malas berbasa-basi.
Tahun 2001 ayah saya meninggal dunia, setelah itu saya baru ‘berani’ traveling pada hari natal setahun kemudian. Ya, natal pertama saya tanpa keluarga, segala yang pertama membuat saya jadi sensitif. Hari itu saya sedang ada di Chiang Mai, Thailand – negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha, sehingga berasa suasana natal aja nggak. Saya bertanya kepada resepsion losmen di mana gereja saja mereka tidak tahu. Saya sampai masuk ke hotel mewah untuk menanyakan Church Service, paling tidak mereka bisa berbahasa Inggris dan mungkin jadi pertanyaan standar turis bule di mana ada gereja. Lalu saya diberi alamatnya, katanya hanya 10 menit berjalan kaki. Saya cari ke sana ke mari, sampai akhirnya saya melihat sebuah gedung yang ada tanda salib, tapi plangnya dalam tulisan Thai yang uwel-uwelan pula. Loh, kok kosong? Saya masuk ke dalam halaman, ke bangunan di belakang gereja – bertemulah saya dengan seorang bapak-bapak yang sangat ramah tapi keukeuh ngomong bahasa Thai meski saya cuman mau tanya kebaktian ada jam berapa. Jawabannya, “Jedang-jedung, pak-tok, cing-cung, mok-oy!”. Ampuun! Saya jadi tambah sedih dan merasa bersalah luar biasa. Mana ibu saya kirim SMS untuk mengingatkan saya harus ke gereja lagi. Kedua teman jalan saya (1 beragama Hindu, 1 beragama Islam) menghibur saya dengan mengajak Christmas Dinner bersama di sebuah Food Court karena di tempat itu terlihat ada keramaian dengan pohon natal, lampu-lampu dan hiasan natal. Sambil makan, di panggung ada hiburan dari band-band ga jelas. Lalu ada sekelompok anak-anak kecil Thailand yang akan menyumbangkan koor natal. Mereka semua berpakaian merah dan putih ala Sinterklas. Wah lumayan, saya pikir. Dan bernyanyilah mereka dengan logat yang aneh, “Las klismes, ai gep yu may halt bat de beli nek dey yu gebit eweey...” Huh? Saya berusaha mendengar lagi dengan seksama. Oh rupanya lagu “Last Christmas, I gave you my heart. But the very next day you gave it away… This year to save me from tears, I'll give it to someone special...” Lah, itu kan bukan lagu natal tapi lagu patah hatinya duo Wham!
0 comments:
Post a Comment