Saya masih ingat impian masa kecil saya kesampaian pada tanggal 3 Maret 1995 di Geneva, Swiss. Sore itu saya dan Pepita baru aja sampai dari perjalan kereta dari Perancis, dan kami nebeng menginap di apartemen teman. Setelah lebih dari seminggu bekpeking dan makan roti pentungan yang keras, gimana nggak girang ketika kami disuguhi Indomie rebus yang panas dan pedes. Lagi enak-enaknya merem melek menyeruput kuah mie, tiba-tiba dari jendela dapur saya melihat gumpalan putih seperti kapas yang turun. “Itu salju,” kata teman kami datar. Hah? Buru-buru kami berlari ke luar dan berteriak-teriak kegirangan, membuka tangan lebar-lebar, muter-muter, lompat-lompat, bahkan sengaja membuka kaca mata untuk merasakan apa yang disebut ‘kelilipan salju’. Kalo kejadian itu dibikin film slow motion... mengharu biru nggak sih?
Rupanya hujan salju itu tidak lama sehingga hanya membasahi jalan saja. Tiga hari kemudian kami sengaja ke Lucerne untuk naik ke Mount Pilatus (2132 m) yang merupakan salah satu puncak gunung bagian utara dari pegunungan Alpen. Naik ke puncaknya sih menggunakan cable car dan sampai di atas ada bangunan bundar tempat observatory dan restoran. Orang lain mah langsung berhenti di pinggir jendela sambil mengagumi pemandangan, tapi kami sibuk cari pintu keluar karena ingin merasakan salju tebal yang menggunung di pekarangan. Bak film kartun, saya pasang ancang-ancang dari jauh, berlari kencang, lalu melayangkan tubuh di atas salju. Bum! Lama saya menghabiskan waktu dengan memegang-megang salju (rasanya persis seperti es serut yang mengeras), bikin bundaran dan lempar-lemparan, terus sengaja tidur-tiduran dan berguling-gulingan di hamparan es. Yang membuat saya bangga, saat itu saya adalah satu-satunya anak pecinta alam di klub saya yang pernah ke gunung es (meski naik cable car). Hehehe!
Dua tahun kemudian, saya dikirim perusahaan untuk training ke Atlanta, AS, pada saat musim dingin selama 2 bulan. Salju rasanya tidak romantis lagi. Bayangin aja, lagi enak-enaknya krukupan dalam selimut sementara di luar udara duingin dan salju turun, gimana nggak males bergerak coba? Sialnya, setiap hari harus ngantor, mana kudu jalan kaki sambil terseok-seok di antara lapisan es yang licin lagi. Penderitaan lainnya: ingus bisa tiba-tiba meler tanpa terkontrol dan mengeras begitu saja di atas bibir, hidung merah bak badut sirkus karena terlalu sering diseka, kulit jadi ruam dan gatal luar biasa karena udara yang kering. Sebenarnya musim salju itu tidak begitu dingin, asal... tidak disertai dengan angin. Duh, kalo angin lagi lewat (apalagi kalo kencang) dinginnya literaly benar-benar sampai menusuk tulang, berasa ngiluuu dan mulut pun mengucap ‘aduh, duh, duuh...’. Sejak itu saya baru bisa bilang bahwa saya benci salju, es, hawa dingin, winter, dan teman-temannya.
Waktu saya ke New Zealand, semua orang menyarankan saya untuk ikutan trekking ke glacier. Wujud es yang satu ini memang belum pernah saya lihat, glacier adalah semacam sungai dari salju yang tidak pernah meleleh meski kena panas sehingga menumpuk abadi. Bulan Oktober di New Zealand memang bukan musim dingin, tapi desa Franz Josef tetap saja bikin saya menggigil. Glacier yang berasal dari Southern Alps ini padahal hanya berada 240 meter di atas permukaan laut (terbentang sepanjang 11 km sampai di ketinggian 2700 meter), beda dengan di Swiss yang glacier-nya baru ada pada ketinggian ribuan meter. Untuk ke sana harus lewat operator dimana mereka menyediakan jasa guide dan menyewakan peralatan seperti rain jacket, glacier boots dan sepatu jeruji besi (crampon). Dengan crampon yang berat dan glacier yang licin, plus tidak ada pegangan ke pohon seperti ketika naik gunung, membuat susah berjalan (gaya jalannya jadi kayak Zombie!). Jalan pun tidak rata, malah kadang ada lembah atau celah yang dihimpit balok es raksasa. Tapi pemandangannya memang spektakuler abis: pegunungan yang tertutup dengan es, lembah hijau yang luas dan cantik, blok es raksasa yang berwarna putih kebiruan... wih!
Ternyata glacier tidak membuat saya gatal dan pilek, tapi rupanya berada di musim dingin dengan temperatur di bawah 2ºC yang bikin saya alergi. Saya sadar ketika saya ke Finlandia, siapa yang sangka bulan Oktober di sana sudah turun hujan salju. Mulanya kuping saya yang merah dan gatal, terus sampai ke leher, bahu, tangan, paha... bentol-bentol pula lagi, persis kayak orang yang alergi makan seafood. Selain itu, bekpeking pada musim dingin membuat saya merasa lebih sedih dan down, mungkin karena tidak ada matahari jadi membuat malas dan tak bersemangat. Rasanya juga tambah lelah berjalan kaki karena memakai baju yang berlapis-lapis dan jaket tebal, dihajar pula dengan udara dingin, ditambah lagi duit yang cekak. Saya ingat sekali perasaan saya ketika jalan kaki sendirian melewati jalan utama kota Andorra la Vella jam 10 malam... sepi, kedinginan, lapar, duit cekak... terus saya melewati sebuah restoran dimana dari jendela luar saya melihat satu keluarga di dalam ruangan yang hangat oleh api perapian sedang menikmati makanan yang lezat dan berlimpah, tertawa-tawa, peluk-pelukan... hiks hiks hiks... saya jadi merasa senasib sependeritaan dengan Gadis Penjual Korek Api!
Jawaban pertanyaan masa kecil saya: ternyata saya nggak pernah liat orang makan salju tuh. Salju itu menangkap polusi dan kotoran di udara, jadi kalo mau bisnis es harus berasal dari salju di Antartika yang bersih. Hihihi!
0 comments:
Post a Comment