Pernah membayangkan traveling pada saat belum ada internet, e-mail, warnet, wartel, handphone, dan ATM?
Dulu informasi tentang negara yang ingin dikunjungi adalah dari buku, padahal buku-buku mengenai traveling saat itu sangat minim, lah toko buku saja jarang. Mana ada buku semacam Lonely Planet, Let’s Go, Rough Guide - saat itu buku traveling yang terkenal adalah Catatan Perjalanan-nya HOK Tanzil yang cara jalannya tidak masuk budget saya. Jadilah untuk survey tempat, saya sering nongkrong di toko buku dan diam-diam mencatat informasi perjalanan. Trik saya yang lain adalah pergi ke travel agent dan ‘nyolongin’ brosur-brosur paket wisata. Dari situ saya bisa melihat foto-foto dan harga paket tur sebagai masukan. Sebelum ada teknologi pemesanan tiket pesawat secara online, mereka memakai ‘Buku ABC’ yaitu buku panduan kota tujuan dari kota A sampai Z mengenai bagaimana orang terbang ke tempat tersebut dan keterangan singkat mengenai tempatnya, misalnya kota San Francisco dapat dicari di huruf S. Pantas saja dulu orang ke luar negeri sangat bergantung dengan paket tur wisata karena informasi yang paling lengkap ‘dimonopoli’ travel agent.
Saat ini semua informasi bisa dicari di internet, toko buku pun banyak dan sudah punya section khusus buku-buku traveling. Buku Lonely Planet saja sudah ada yang edisi ‘on a shoestring’ yaitu traveling dengan budget terbatas sehingga memudahkan para backpackers. Pesan tiket pesawat bisa lewat internet, tinggal cari yang termurah berdasarkan tanggal dan jam keberangkatan. Tiket pesawat saat ini pun hanya berupa kertas print dari e-mail, tinggal menunjukkan tanda pengenal sudah beres. Informasi mau menginap di hotel juga tinggal cari di internet. Bahkan cara pergi dari airport ke hotel sudah diberi tahu bagaimana caranya, naik apa, berapa lama, dan perkiraan waktunya. Berkat mailing list, kita bisa cari informasi tentang suatu tempat dari orang yang sudah pernah ke sana. Rasanya paket wisata dari travel agent saat ini jadi kurang laku karena traveling perorangan menjadi sangat mudah sehingga paket wisata jadinya hanya diperuntukkan bagi orang yang malas cari informasi dan tidak mau ribet.
Dulu kalau saya traveling membuat kuatir orang tua karena jarang kasih kabar berhubung wartel masih jarang dan belum ada teknologi handphone, mana saya sering bablas - bilang pergi ke Bali seminggu tapi jadi 3 minggu karena nyangsang sampai ke Lombok dan Sumbawa segala. Dulu untuk melakukan telepon SLJJ harus ke kantor Telkom setempat, dan karena ‘miskin’ harus minta disambungkan telepon tapi dibayar penerima. Setelah wartel sudah marak, baru deh saya kena wajib lapor. Kalau ke luar negeri, saya agak dimaafkan, yang penting sebelumnya saya memberi informasi mengenai itinerary. Kadang saya kirim postcard bergambar, itupun seringnya duluan saya yang sampai di rumah daripada postcard-nya.
Saat ini wartel sudah menjamur di segala pelosok di Indonesia, warnet juga mulai banyak. Kalau ke luar negeri, saya pasti menyempatkan diri ke warnet untuk cari informasi, cek e-mail, dan membaca komen para pembaca Naked Traveler, hehe! Ketika sudah ada handphone, rasanya orang tua saya yang berbahagia karena gampang ngeceknya. Tapi dulu saat belum ada international roaming - begitu ke luar negeri sinyal langsung mati – saya terpaksa tetap ke warnet untuk mengabari lewat e-mail. Untungnya saat ini handphone nomor Indonesia sudah bisa dipakai di hampir sebagian besar negara di dunia, kecuali negara-negara yang tidak populer seperti Andorra dan Palau. Handphone zaman sekarang bahkan sudah ada teknologi 3G yang bisa video call lintas negara pula - bener-bener ga bisa bohong kita lagi ada di mana.
Dulu untuk menyambung pertemanan dengan sesama traveler dari manca negara, kita saling tukar alamat dan nomer telepon rumah. Lalu kirim-kiriman surat atau postcard yang datangnya pun berbulan-bulan sekali. Waktu saya belum bekerja, sebelum traveling saya bela-belain mencetak kartu nama pribadi sendiri dari mesin cetak kartu nama instan yang ada di mall. Setelah bekerja dan punya kartu nama kantor, barulah tukar-tukaran alamat jadi lebih bergengsi, itu juga belum ada alamat e-mail. Setelah ada internet dan e-mail, segalanya jadi jauh lebih mudah. Kita bisa lebih sering berhubungan dengan e-mail, bahkan bisa chatting, telepon-teleponan via Voip, dan bisa langsung bertatap muka dengan teknologi web cam.
Dulu waktu belum ada ATM (Automatic Teller Machine), ke mana-mana harus bawa buku bank. Setiap masuk ke suatu kota, mata langsung jelalatan cari bank apa yang tersedia. Kalau mau ambil duit, bela-belain cari bank dan harus mengantri pagi-pagi. Setelah ada ATM, mulanya jaringan belum banyak dan pecahan uangnya pun masih sepuluh ribuan – kalau mau bayar tiket atau hotel bisa bergepok-gepok. Saat ini kartu ATM bisa berguna sebagai debit card, jadi tinggal gesek saja tanpa bawa uang tunai. Tarik uang juga sudah bisa di ATM yang bukan asal bank sendiri. Di luar negeri pun, kartu ATM Indonesia berlaku asal ada logo jaringan yang bekerja sama, seperti Visa dan Cirrus. Bahkan saat ini lebih canggih lagi, saya bisa melakukan pembayaran menggunakan m-banking, tinggal pencet-pencet dari handphone tanpa harus ke ATM.
Ah, berbahagialah orang traveling pada zaman sekarang!
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
0 comments:
Post a Comment