Lebaran di (Kolam Renang) Negara Jiran

Saya mengaku, seminggu libur lebaran kemarin saya ke Malaysia. Saya harus menceritakan sejarahnya dulu mengapa saya bisa ke sana. Ceritanya, ibu saya bersaudara 6 orang, salah satu di antaranya ada yang tinggal di Kuala Lumpur (KL) dan baru saja kehilangan suaminya yang meninggal dunia sementara kedua anaknya tinggal di luar negeri. Tercetuslah ide untuk ramai-ramai mengunjungi tante saya yang sendiri itu sekalian berlebaran bersama. Terus terang, mulanya saya tidak tertarik sama sekali untuk bergabung (apalagi KL sungguh bukanlah tempat yang menarik bagi saya), tapi sudah lama saya tidak berlebaran bersama keluarga karena selalu kabur untuk traveling sendiri.

Di sebuah hotel di KL, kami membuka 7 kamar hotel yang dikasih connecting door sehingga kamar menjadi panjang. 6 orang kakak-adik ibu saya semuanya hadir dan ada yang membawa keluarga masing-masing sehingga totalnya menjadi 15 orang, dengan range umur 12 – 73 tahun (karena ada yang bawa ibu mertua). Seperti sebagian besar orang Indonesia, aktivitas favorit setiap hari adalah berbelanja - sementara saya dan salah satu tante saya yang sama-sama tidak suka berbelanja memisahkan diri dengan nongkrong di cafe. Bagaikan kelompok Pramuka, setiap pagi sebelum berangkat dari hotel, dibuatlah kelompok-kelompok kecil dan ditunjuklah ketua regu untuk memimpin naik taksi ke tempat tujuan. Sampai di shopping mall, ditunjuklah sebuah tempat untuk berkumpul kembali beberapa jam kemudian. Tempat yang diserbu Suria KLCC, Sungai Wang, dan Petaling. Barang favorit yang dibeli tentulah alas kaki merk Vincci. Hanya hari ke-2 rombongan (akhirnya) berpisah, pasangan suami-istri bertemu dengan koleganya, ibu-ibu berbelanja entah ke mana, dan para jomblo (saya dan sepupu-sepupu) ke Ikea. Malam hari, semuanya berkumpul di satu kamar, makan bersama sambil ngerumpi - setelah itu, para jomblo dugem di diskotik.

Hari lebaran tahun ini kami merayakannya dengan sangat unik. Bosan dengan suasana kamar panjang yang hingar bingar, pagi itu kami memindahkan pertemuan keluarga besar di pinggir kolam renang. Peraturan hotel yang tertulis di plang menyatakan bahwa tidak ada yang boleh membawa makanan dan minuman dari luar, maka kami satu per satu pun akal-akalan membawa bungkus-bungkus makanan sambil memakai shorts dan tank tops - sangat berbeda dengan kostum sebagian rombongan yang baru pulang sholat Ied yang memakai baju kurung dan kerudung. Lemang dingin, rendang dingin, sate padang dingin, plus ketupat, serundeng, dendeng, kerupuk dan air mineral (cuma ini yang dinginnya cocok), semuanya tandas saat itu juga. Aktivitas selanjutnya lebih lucu lagi, kami semua berganti baju dengan dress code atasan warna putih dan bawahan jeans karena kami mau norak-norakan berfoto bersama di studio foto di pasar Chow Kit. Melihat contoh-contoh foto yang ditempel di dinding saja membuat kami tertawa, kebanyakan kliennya orang India yang difoto berlatar belakang lukisan gedung tinggi dan di depannya ada taman dari tumbuhan plastik. Rupanya si tukang foto sangat old-fashion, kami tidak boleh bergerak atau mengedip, gayanya pun harus duduk diam tenang seperti gaya pemotretan pas foto. Setelah itu bagaikan rombongan yayasan yatim-piatu, kami melanjutkan jalan-jalan bersama.

Hari ke-4, sebagian rombongan pergi ke Pulau Perhentian - sebuah pulau di timur semenanjung Malaysia, dekat perbatasan Thailand. Ya, inilah ide saya untuk memindahkan mereka ke sini, ketimbang seminggu dihabiskan di KL dengan pemandangan gedung-gedung dan kabut asap kiriman Indonesia. Perjalanan menyebrang lautan berombak naik speed boat rupanya membuat ibu-ibu berteriak-teriak shock, tapi akhirnya semuanya ternganga melihat indahnya tempat ini: sebuah resor sepi dengan private beach yang berada di teluk, hutan tropis, pasir putih bersih, dan air laut yang tenang berwarna biru muda. Lucunya, semua staf di resort tersebut adalah orang Indonesia asal Medan - jadilah kamar kami di-upgrade gratis dari jungle view menjadi beach view dan servisnya jadi sangat memuaskan. Setiap makan di restoran, para staf itu berdiri di dekat kami dan tertawa-tawa mendengar celotehan bahasa Indonesia kami, kasihan mereka rindu kampung dan tak pernah ada orang Indonesia ke sini. Besoknya seorang sepupu saya bergabung (dan membawa Gudang Garam sebagai oleh-oleh kepada para staf hotel), jadilah 9 orang kami di sini. Setiap hari acara kami adalah ngerumpi, leyeh-leyeh, berenang, ikut snorkeling trip keliling pulau, dan yang jomblo ikut scuba diving trip (enak juga punya sepupuan yang semuanya certified divers). Lagi-lagi para orang tua pada panik melihat ikan hiu, school of Napoleon Wrasse dan ikan barakuda berseliweran, sementara kami malah kegirangan. Malam terakhir kami candle light dinner di deck pinggir pantai - kami merupakan tamu terakhir sebelum pulau ini tutup beberapa bulan karena monsoon season.

Hari Sabtu sore, kami dan rombongan yang tidak ikut ke pulau, berkumpul kembali di airport di KLIA untuk pulang ke tempat masing-masing. Bagaikan flash back, cerita itu berulang kembali persis seperti minggu lalu dan seterusnya setiap hari: teriakan-teriakan yang tua kepada yang lebih muda untuk menyuruh ini-itu, rengekan anak ABG yang minta dibelikan ini-itu kepada orang tuanya, mengomentari foto-foto bahwa kami makin lama makin mirip satu sama lain, ledekan yang kurus kepada yang gendut, mendengarkan cerita-cerita masa lalu, foto sana – foto sini, makan ini – makan itu...luthunaaa...

About karangan ku

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.